10 Alasan Jurnal Ditolak Aplikasinya oleh Team CSAB SCOPUS

ENGLISH VERSION

Some further feedback is below:

- The geographical reach of authorship and/or content is still limited.
- The journal shows an uneven scholarly quality in the articles, indicating that peer review and editorial management must be strengthened.
- A significant proportion of the articles are of academic quality and do not meet international standards.
- The composition of the Editorial Board needs to be further diversified and grow for a global reach.
- Many good international journals already cover this subject area. Consider strengthening your identity and identify areas that can attract international scholars.

Berikut ini adalah 10 poin alasan utama kenapa jurnal ilmiah belum bisa terindeks di Scopus dan mendapatkan embargo 6 bulan, 1,5 tahun bahkan ada yang embargonya 5 tahun dan baru bisa apply lagi setelah itu dan harus mengirim cover letter yang  isinya perbaikan apa saja yang telah dibuat dengan “daftar dosa” yang dimiliki jurnal ilmiah yang tidak ditolerir oleh team CSAB Scopus. 10 poin rejection ini adalah sebagian pengalaman pribadi saya dan juga pengalaman beberapa kawan yang jurnalnya direject oleh Scopus dan juga dilengkapi dengan info-info dari isian materi webinar per-jurnal-an oleh para pakar dalam bidang per-Scopus-an:

  1. Bad Grammar. Bahasa dan tata bahasa Inggris di banyak artikel buruk, menunjukkan bahwa tinjauan sejawat (Peer Review Process) dan manajemen editorial perlu diperkuat lagi kerjanya.
  2. Kurangnya Konsistensi Jurnal Ilmiah. Kurang konsisten dalam hal ini sebagai contoh adalah jurnal yang isi artikelnya tidak sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan jurnal. Untuk itulah perlu menjadi perhatian bagi para editor dan pengelola jurnal agar betul-betul menetapkan focus and scope yang unik  kalau perlu bikin webinar dan conference atau Focus Discussion Group untuk menentukan  hal ini dan juga jika ada artikel tidak sesuai dengan focus and scope jurnal direject saja. 

  3. Kecilnya Impact dan Kontribusi Keilmuan jurnal ilmiah. Contoh kritik yang diberikan oleh team Evaluator Scopus itu seperti ini “Ada beberapa artikel yang bagus dan informatif, tetapi juga banyak artikel yang memberikan kontribusi kecil di lapangan”.
  4. Scopus Citedness Masih sedikit. Ini poin yang paling debatable menurut saya. Saya sudah berdiskusi dengan cara japri ke beberapa suhu per-jurnal-an dan bisa saya kategorikan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok pakar jurnal yang berpendapat bahwa setidaknya scopus citedness jurnal itu 10, 15 bahkan lebih banyak dari jumlah itu karena syarat pengajuan jurnal ke database Scopus adalah men-submit 10 artikel terbaik yang dimiliki jurnal yang tentunya yang ada scopus citedness-nya alias 10 artikel jurnal terpilih itu sudah disitasi oleh jurnal atau conference yang terindeks di database Scopus. Semakin banyak sitasi semakin baik. Kelompok yang kedua adalah kelompok yang berpendapat Scopus citedness itu nggak ada standar jumlah. Secara ekstrim ada yang mengatakan andaikan Scopus citedness jurnal hanya satu itu tidak masalah jika secara umum konten, focus and scope yang superspealis dan unik kemudian diversitas penulis dan editor dari berbagai Negara dianggap sudah layak untuk masuk inklusi Scopus. Ada fenomena jurnal Indonesia yang Scopus citedness sedikit tapi bisa terindeks di Scopus karena mungkin saja grammar bahasa Inggris yang bagus dan artikel-artikel yang dipublikasi memiliki  aim and scope yang superspesialis dan unik sebagai contoh “Jurnal Kajian Keluarga Islam” dan sebaliknya ada jurnal Indonesia yang punya Scopus citedness banyak tapi direject dan di-embargo karena  nama dan focus and scope jurnalnya sudah banyak yang sama di database Scopus.
  5. Mutu Kualitas Konten yang rendah. Komentar team CSAB  Scopus  seperti contohnya “ Jurnal menunjukkan kualitas ilmiah yang tidak merata dalam artikel” atau begini “Sebagian besar artikel memiliki kualitas akademis yang rendah”
  6. Judul dan focus and scope jurnal tidak Supespesialis dan distinctive. Fokus dan cakupan yang sama dan sudah banyak dimiliki oleh Jurnal-jurnal yang sudah terindeks Scopus. Komentar umum team CSAB  Scopus itu contohnya seperti ini “Sudah banyak jurnal internasional yang membahas focus and scope yang sama”.
  7. Diversitas Penulis yang kurang baik. Maksudnya diversitas penulis yang kurang baik disini adalah Penulis yang semuanya masih berasal dari satu Negara. Coba bayangkan betapa aneh jika ada misalnya ada jurnal yang menamai jurnalnya “International Journal of…” tetapi semua penulisnya dari  satu Negara  yang sama di Negara tempat diterbitkannya jurnal tersebut. Saran saya cobalah membuat Jurnal  yang semua artikel full text in English dan Call for Paper nya di-share ke Group facebook kajian keilmuan internasional. InsyaAllah akan ada beberapa author dari luar negeri yang submit naskah tapi tetap harus dicek similarity score dan jika naskahnya tidak ada research gap, novelty dan theoretical contribution direject saja atau disuruh re-submit dengan revisi yang sangat banyak karena statusnya major revision.
  8. Persoalan Diversitas Anggota Dewan Editor. Saya perhatikan di Jurnal-jurnal yang terindeks Scopus yang diutamakan adalah kualitas Editorial teamnya bukan list of Reviewernya. Jika pola akreditasi jurnal di Indonesia mensyaratkan Anggota Reviewer harus ditampilkan di laman statis yang terpisah dengan dewan Editor, jurnal yang terindeks Scopus cukup hanya dewan Editor dengan laman statis yang menampikan list siapa yang berperan sebagai Editor in Chief, Anggota Dewan Editor dan International Advisory Board. Salah satu hal penting yang di-Highlight oleh team CSAB Scopus adalah idealnya diversitas editor jurnal harus dari beberapa Negara dan Kata Prof Istadi  dari jurnal BCREC UNDIP Semarang, sebaiknya ada Regional handling  Editor di masing-masing benua.  Minimal dari tiga benua. Saya sendiri mencoba me-manage REGISTER JOURNAL punya 3 Editor yang mewakili tiga benua: Asia, Afrika dan Eropa.
  9. Tidak adanya publikasi Scopus Editor in Chief dan Dewan Editornya. Jika jurnal kita ingin terindeks Scopus sangat disarankan agar orang-orang yang dipasang di laman statis di Editorial board adalah orang yang memiliki reputasi publikasi internasional dan ditampilkan rekam jejak publikasi dengan menampilkan link URL Scopus id Editor in Chief dan Anggota Dewan Sungguh ironis jika sebuah jurnal ingin Go International tetapi Editor in Chief dan Anggota dewan editornya belum memiliki Scopus id atau belum pernah memiliki publikasi yang bersifat internasional.
  10. Kebijakan Peer-Review yang tidak jelas. Jika jurnal kita sudah terindeks di DOAJ tentunya kita akan memahami bahwa Peer-Review Policy yang jelas pada sebuah jurnal menunjukkan adanya pengelolaan naskah artikel yang berkualitas pada jurnal ilmiah yang Anda Persoalan pilihan dalam Jurnal kita menggunakan Open atau Single/Double Blind review,  adanya submission track dari masuknya artikel sampai publish dan baik tidaknya  peer review process ini akan kelihatan di mutu konten artikel.
ENGLISH VERSION
Some further feedback is below:

- The geographical reach of authorship and/or content is still limited.
- The journal shows an uneven scholarly quality in the articles, indicating that peer review and editorial management must be strengthened.
- A significant proportion of the articles are of academic quality and do not meet international standards.
- The composition of the Editorial Board needs to be further diversified and grow for a global reach.
- Many good international journals already cover this subject area. Consider strengthening your identity and identify areas that can attract international scholars.

Demikian saya summary dan penjelasan saya tentang 10 Alasan Jurnal Ditolak Aplikasinya oleh Team CSAB SCOPUS. Semoga bermanfaat dan menjadi rujukan penting untuk perbaikan jurnal kita di masa mendatang. Dengan tulisan ini semoga semakin banyak Jurnal Indonesia yang terindeks Scopus dan makin banyak yang terindeks makin terbuka peluang bagi kita sebagai editor untuk berkolaborasi dan jika kita jadi author makin banyak pilihan untuk submit artikel.

 

Tidak ada komentar: