Selasa, 28 September 2021

Trik Menjadi Jurnal Terindeks Scopus Q1 di Indonesia

Wawancara dengan Prof. Dr. Zakiyudin Bhaidawy, M.Ag Rektor IAIN Salatiga 2019-2023 bersama Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I tentang Jurnal IJIMS di Hotel Aston Jember, pada tanggal 26 Juni 2019. Journal IJIMS (Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies) adalah jurnal di Program Pasca Sarjana IAIN Salatiga. Untuk saat ini, IJIMS telah terindeks oleh Scopus Q1, Crossref, Index Copernicus, Index Islamicus dan masih lagi. Selain itu IJIMS  telah mendapatkan akreditasi nasional (A) dari Kementerian Ristek Dikti. Berikut interview kami Basuki Kurniawan dari Media Center Fakultas Syari’ah dengan Rektor IAIN Salatiga Prof. Dr. Zakiyudin Bhaidawy, M.Ag bersama Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Jember Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I.

 

Bagaimana awal memulai Jurnal IJIMS?

Junal IJIMS lahir pada tahun 2011 bersamaan dengan saya diberikan amanat sebagai asisten direktur 1 program Pascasarjana,karena tahun 2011 kita awal program pasca.  Sedangkan Ketua pendirian saya, dan berdasarkan SK saya diberikan amanah sebagai asisten direktur dan saya mempunyai gagasan besar karena IAIN Salatiga mempunya visi besar yaitu IAIN Salatiga sebagai Pusat Rujukan Study Islam Indonesia. Apabila kita ingin menjadi rujukan, maka kita harus mempunyai academic towerAcademic tower itu selain kajian juga harus mempunyai jurnal ilmiah yang memuat gagasan-gagasan Islam Indonesia itu. Kedua, karena kita mempunyai aspirasi Internasional, maka jurnal ini tidak ditulis dalam bahasa Indonesia. Awalnya jurnal ini dalam dwi bahasa yakni bahasa Inggris dan bahasa Arab, cuma kami selaku pengelola mendapatkan kesulitan-kesulitan artikel bahasa Arab, seperti kendala mencari penulis Bahasa Arab jauh lebih sulit dan mengelola jurnal bahasa Arab lebih sulit daripada mengelola artikel bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Dan IJIMS pernah menerbitkan jurnal 3 kali dalam dwi bahasa itu, tapi pada edisi keempat kami fokuskan ke bahasa Inggris sampai sekarang.

 

 

 

Apa yang membedakan Journal IJIMS dengan jurnal-jurnal yang lain di Indonesia?

 

Di Indonesia banyak kajian  Islam, namun dalam mengambil nama jurnalnya pun berbeda. Saya lebih cenderung menonjolkan moslem societies-nya. Jadi kajian-kajian yang tidak tekstual murni, tetapi warna Islam sebagai praktik, sosiologis, antropologis, humanity social scientish lebih menonjol yang diteliti itu adalah pluralitas Islam sendiri.

Membangun kajian tekstual dan sosio historis, jangan berdiri sendiri. Yang kedua membangun gap ortodoksi dan heterodoksi, kenyataan Islam tidak hanya great tradition  tapi banyak local tradition. Kajian besar disebut ortodoksi dan kajian kecil disebut heterodoksi. Kajian kami lebih suka pendekatan inter dan transdisiplin. Jadi melibatkan kajian Islam dan mendekatkan kajian social science. Kenapa kata moslem society itu dipilih? Oleh karena oleh para pembaca barat lebih disukai.  Kita membaca kecenderungan kajian diluar itu, Islam bukan sebagai dogma/doktrin tapi sebagai society yang di praktikkan. Kalo melihat studi agama di Eropa itu Islam sebagai society  atau community  bukan sebagai dogma.  Lalu kami mengambil istilah itu sebagai jurnal.

 


Sejak kapan terindeks Scopus Q1?

Sejarahnya kita berdiri tahun 2011 setelah 3 tahun yakni 2014 baru langsung terakreditasi A dari Kemenerian Ristek Dikti (dulu Kemendikbud istilahnya). Dari situ kita harus mempunyai roadmap yang jelas, 3 tahun ke depan visinya tidak hanya jurnal yang diakui nasional tapi Internasional. Dari situ jurnal tertulis bahasa Inggris. Bagaimana dalam 3 tahun membuat roadmap untuk bisa terindeks scopus. Untuk itu kita memperbaiki banyak hal, pada 2016 bulan april  submit ke scopus.  Lalu diterima dan 13 Agustus 2017 terindeks scopus diterima (accepted).  Artinya dari 13 agustus 2017 sudah terindeks Scopus. Setelah scopus muncul untuk masuk di  Schimago butuh satu tahun lagi. Akhirnya mereka menjanjikan akhir mei atau awal juni  baru nama kita muncul di schimago. Alhamdulillah tepat 1 juni 2019 pas jadi kami menerima seperti Lailatul Qodar. Schimago merupakan salah satu lembaga mengeluarkan peringkat untuk jurnal sedunia, awal nya kami tidak menyangka Scopus Q1, kami memprediksi Q3 tapi ternyata jumlah sitasinya melampaui.  Kami mendapatkan Scopus Q1 dengan terindeks 0,161 padahal minimal 0,15. Kami bersyukur satu satunya lembaga yang tembus Q1, belum ada lembaga Q1 di Indonesia.

 

 Apa kiat-kiat agar Jurnal terindeks Scopus Q1?

Ya, saya kira kita harus open accesopen journal system, artikel yang kita upload disiminasi seluas mungkin maka semakin banyak terindeks di lembaga-lembaga terindeks lembaga Internasional, kesempatan kredibilitas semakin tinggi, semakin tinggi keterbacaan maka peluang scientibility dikutip semakin tinggi.

Biasanya baru terbit yang sudah terpublikasi kami kirim link artikel disebar kemana-mana, membuka peluang dibaca tinggi, kita bagi kemana-mana, siapapun yang punya jaringan kita sebar. Peluang keterbacaan tinggi maka scientibility tinggi. Siapaun jaringan masuk. Dai situ kemudian bisa meningkatkan sitasi. Sebab Q1, Q2 Q3   itu rumusnya jumlah kutipan dibanding jumlah artikel (dokumen).  Hasil 0,161 itu hasil jumlah kutipan dengan jumlah artikel. Seluruh artikel yang sudah dikutip dan dipublikasi. Saya berusaha bagaimana caranya artikel 2011 bisa terindeks Scopus.  Dan ternyata dikabulkan.

Yang paling penting adalah Menjaga stamina dalam mengelola jurnal, konsistensi , aspiransi penulis harus internasional dan setiap terbit ada 2  penulis dari luar negeri (Internasional). Dari total artikel hanya terbit 6 artikel setiap edisi. Saya yakin semua PTKIN semua bisa, tergantung istiqomah dan kemauan dalam menerbit artikel.  Dalam jurnal diupayakan ada penulis Internasional walau cuma satu penulis internasional dalam setiap kali terbit.

 

Bagaimana cerita Prof. Zakiyudin Baidhawy, dapat mengalahkan jurnal-jurnal terindeks scopus Q1 yang lain di Indonesia?

Secara pribadi kita mempunyai peluang yang sama apakah PTKIN atau Non PTKIN. Setiap perguruan tinggi baik negeri dan swasta mempunyai peluang yang sama untuk menjadi besar, masalahnya  mau diambil apa tidak peluang itu. PTKIN itu ada 5 yang terindeks Scopus, PTKIN fokus pada social humaniora, dan tidak dimiliki dibawah Ristekdikti,  Ristekdikti hanya jurnal wacana yang social humaniora. Kemudian IAIN Kudus terakhir yang terindeks Scopus. Artinya dalam social humaniora itu PTKIN sudah menjadi kiblat di Indonesia.  Yang masuk kategori social humanities kita lebih unggul dibanding PTU maka dari itu harus dibaca sebagai peluang. PTKIN itu punya peluang untuk masuk social dan humaniora. Kajian kita ada sub kategorinya Religious Studies yang mana itu sangat kurang. Maka peluang kita terindeks Scopus cukup besar, nanti kita masuknya art humanities payung besarnya dan sub kategori religious studies, dan ketika kita men submit jurnal kita di religious studies dan itu peluangnya cukup besar. Itu merupakan bagian dari strategi (submission), jangan sampai salah kamar.

 

Dapat penghargaan darima saja jurnal IJIMS setelah status Q1 ?

Hehe (senyum) Mendapatkan apresiasi dari Kemenag dan ucapan selamat dari mana-mana.  Tetapi Menteri Ristekdikti akan memberikan award. Dan Kemenag juga akan memberikan award.   

 

Dengan mendapatkan Q1 apa yang dilakukan jurnal IJIMS selanjutnya? Terlebih lagi sebagai Rektor IAIN Salatiga adalah Prof. Zakiyudin  sendiri?

Menebarkan virus ke jurnal-jurnal lain di lingkungan kami, dan lingkungan yang  lain di semua kemerinterian, semua lembaga pendidikan tinggi. Saya masih editor IJIMS, saya editor IJIMS kedua yang menjadi Rektor IAIN Salatiga.

 

Apa ada pengaruh kebijakan pimpinan terhadap pengelola IJIMS?

Kita harapnya terus semakin meningkat, membuat peluang yang lebih besar, dan juga dukungan bukan hanya  moril, infrastruktur dan  upgrade diri yang dari SINTA 2 larilah ke SINTA 1. Kalau target kami ada dua lagi Scopus  di IAIN Salatiga.

 

Apa saran Prof.  Zakiyudin untuk dosen-dosen  agar dapat menulis di jurnal Internasional terindeks Scopus Q1?

Harus rajin berlatih, kalau tidak dilatih  susah, karena menulis di jurnal Internasional apalagi yang terakreditasi tidak bisa instan, harus terbiasa ditolak (reject). Kami rata-rata setiap bulan 30 artikel dan dalam 6 bulan hanya 6 artikel yang terpublish. Kami satu bulan hanya mengambil satu artikel. Dari 30 kita ambil satu artikel setiap bulan.  

 

Apa saran-saran bagi pengelola jurnal agar bisa mengikuti jejak IJIMS?

Mengelola jurnal tidak dibutuhkan orang banyak, cukup 2 maksimum 4 orang, tapi harus dibangun sebagai tim yang konsisten bekerja, secara terus menerus. Kami (IAIN Salatiga) hanya 4 orang yang paling inti, seterusnya harus konsisten terus harus dijaga.

 (Basuki/Media Center)

Sumber: http://fsyariah.iain-jember.ac.id/berita/

 

Tidak ada komentar: