Selasa, 28 September 2021

Kesalahpahaman yang Umum Terjadi pada Penulis dan Pengelola Jurnal Ilmiah

 Kesalahpahaman author:

Pertama, Masalah double atau triple publication. Saya sering membaca keluhan penulis terhadap pengelola jurnal dimana berbulan-bulan artikel yang mereka submit di OJS System berstatus “awaiting Moderation”. Itu berarti artikelnya masih berstatus “unassigned” di system OJS dan belum dilakukan “eksekusi” berupa intial review.  Hal ini wajar mengingat kesibukan editor yang biasanya juga memiliki jabatan di kampusnya. Sudah pasti membagi waktu untuk mengajar, menjabat dan mengelola jurnal memerlukan time management yang baik. Saya pernah mendengar dari  beberapa narasumber acara webinar jurnal bahwa sebaiknya secara best practice harus ada keputusan PROCEED atau REJECT dalam 2 minggu sampai satu bulan. Sehingga author bisa lanjut menunggu proses review di jurnal tersebut jika PROCEED dan mengirim ke jurnal lain jika REJECT. Ini di Sinta 2. Di Sinta 1 termasuk juga pengalaman di Jurnal di Malaysia seperti yang saya alami di Pertanika Journal initial review maksimal 3 bulan baru ada keputusan.

Nah, ini yang perlu dicek oleh author di web OJS  Berapa lama proses initial review sebuah jurnal. Ini baru initial review lho belum lagi proses under review-nya. Ada cerita jurnal internasional yang terang-terangan menyebutkan proses initial review sampai 8 bulan. Wah lama banget yaaa. Ini penting dipahami dan dipelajari sehingga jangan sampai author merasa di-PHP-in oleh pengelola jurnal kemudian dia submit naskah yang sama ke jurnal lain namanya double submission atau publikasi jamak. Praktik publikasi jamak ini akan menjadi masalah ke depannya jika dua jurnal tersebut sama-sama menerima naskah itu untuk dipublikasikan. Salah satu jurnal terutama yang terbit belakangan harus menarik naskah yang sudah telanjur terbit. Dan hal ini komunikasinya terkadang  alot atau susah.

 

Kedua, Masalah Fast Track review vs Fast Publication. Seperti yang pernah saya tulis tentang “Masalah APC di dunia publikasi” ada kesalahpahaman author jika mereka mau membayar lebih untuk Fast Track Review naskahnya pasti diterima. Logikanya jika regular process fee-nya 100 USD sedangkan Fast Track Review bayarnya 200 USD atau lebih lagi jadi 300 USD ini jadi “pelicin” atau “jalur tikus” publikasi. Padahal sebetulnya tidak ada jaminan jika sudah membayar double atau triple kemudian naskah author akan diterima karena perlu review minimal 2 reviewer. Jika satu reviewer bilang YES dan reviewer kedua bilang NO,  maka diperlukan ada reviewer ketiga yang bilang YES untuk naskah itu akan accepted.  Sebaliknya jika reviewer  bilang NO ya  REJECT-lah manuscript tersebut. Note: ada catatan penting di Group FB Scopus Journal Indonesia (Anggotanya 61 ribu lebih) ada member group yang meluruskan bahwa Fast Track Review itu bukan berarti Fee-nya double atau bahkan triple tapi feenya tetap regular fee tapi dikhususkan untuk issue yang penting atau urgen seperti info hasil penelitian COVID-19 atau diprioritaskan kepada mahasiswa S2 dan S3 yang akan segera ujian atau yang harus segera laporan luaran penelitian yang mendapatkan dana hibah.

Ketiga, Tentang  publikasi artikel di Proceeding terindeks Scopus. Bagi seorang penulis pemula ada anggapan bahwa publikasi di Proceeding terindeks  Scopus itu lebih mudah daripada terbit di Jurnal nasional maupun Internasional. Pada praktiknya sebenarnya sama saja. Saya mengirimkan naskah ke tiga conference yang berhasil publish hanya 2 artikel. Dari 2 artikel tersebut yang terindeks Scopus hanya satu sedangkan yang satunya dengan nama besar EUDL/EAI bisa terbit tapi sampai sekarang tidak bisa ditemukan di database Scopus. Yang satunya lagi sudah 2 tahun belum terbit dan tentu saja belum ada di database Scopus. Lesson Learnt ini menjadikan saya selalu menyarankan jika satu kampus membuat conference sebaiknya luaran conference tersebut sebaiknya diarahkan ke jurnal Sinta 1 terindeks Scopus, Sinta 2, 3 dan 4. Selain itu bisa ditawarkan kepada perserta untuk publish di Proceeding ber ISBN.

 

Tiga Kesalahpahaman pengelola jurnal

Pertama, Euphoria Tiap prodi dan jurusan bikin jurnal. Karena banyaknya motivasi dan wording bahwa jurnal adalah Menara dan marwah akademik sebuah kampus. Ada pemikiran agar setiap prodi atau jurusan membuat jurnal. Hal ini sebenarnya bagus-bagus aja untuk mengembangkan SDM masing-masing prodi dan jurusan tetapi hal ini tentunya harus didukung oleh kesiapan dua unsur pendukung sukses tidaknya sebuah jurnal. Pertama team konten alias editor naskah dan yang kedua adalah,  team OJS atau team IT yang mengurus tata kelola jurnal. Tanpa adanya sinergi kedua unsur pendukung tersebut jurnal akan berada dalam kondisi “Hidup segan, Mati  Tak Mau”. Ibarat punya bayi, harus ada yang bertanggungjawab lahir bathin atas tumbuh kembangnya bayi. Sungguh memprihatinkan jika ada jurnal terbit kemudian kurang perawatan dan perhatian.

Kedua, Masalah acceptance rate naskah yang masuk. Pernah di satu Group WA editor, seorang pengelola jurnal bercerita bahwa jurnalnya akan menghentikan Call for paper setahun sampai 2 tahun ke depan karena sudah full articles. Saya tanyakan berapa prosentase acceptance ratenya? Jawabnya sekitar 40-60 persen. Nah ini yang jadi masalah. Seharusnya  prosentase acceptance rate diturunkan sampai ke level 5-10 persen sehingga artikel yang terseleksi bukan hanya yang bagus tapi super-bagus, the best of the best. Jurnal-Jurnal Internasional bereputasi yang ber-Q1 dan Q2 terkenal mudah mereject artikel yang ber-status major revision. Di Jurnal Sinta 2 ke bawah status major revision berarti masih bisa diperbaiki tetapi di jurnal Sinta 1 atau yang terindeks Scopus cenderung memilih yang minor revision karena sudah bagus dari awal ada aspek novelty, research gap, state of the art dan theoretical contribution. Bahkan di jurnal-jurnal luar negeri dikehendaki naskah yang masuk bukan hanya secara konten sudah bagus tapi sudah dicek proofreading-nya oleh proofreader native speaker of English. Jadi bukan proofreading naskah ketika mau terbit tapi dari awal submission sudah bagus.

 

Ketiga, Anggapan Jurnal bisa  terindeks Scopus memerlukan biaya yang sangat besar.ada anggapan dan pertanyaan, “Apakah Jurnal bisa terindeks Scopus memerlukan biaya besar?” Jawabannya relative dan tidak harus berbiaya besar. Karena biaya submit jurnal ke Scopus itu Gratis. Kemudian jika jurnal itu publishernya kampus biaya sewa domain dan hosting berikut pembayaran sewa DOI ke Crossref.org sudah di-cover oleh kampus. Langganan Plagiarism Checker bonafid seperti Turnitin atau Ithenticate sudah di-cover oleh Kampus. Kata Prof Zaki, Rektor kampus kami sekaligus editor in Chief jurnal IJIMS yang di Scopus Q1: mengelola jurnal tidak memerlukan orang banyak. Cukup 2 sampai 4 orang yang focus dan serius dan punya strategi yang tepat jurnalnya bisa terindeks Scopus. Cerita selengkapnya bisa dibaca di Trik Menjadi Jurnal Terindeks Scopus Q1 di Indonesia.

Tidak ada komentar: