Minggu, 05 Mei 2024

Profesor "Scopus"

Amanda Setiorini W. , dosen Akademisi dari Universitas Multimedia Nusantara 

03/05/2024, 14:43 WIB 


BELAKANGAN ini marak di berbagai berita mengenai dosen yang melakukan academic misconduct dalam penelitiannya. Inilah akibat yang harus dipikul dalam budaya instan. Sudah lama aturan yang mendewa-dewakan jurnal tertentu menimbulkan kegelisahan. Sebut saja keharusan untuk memiliki publikasi di jurnal terindeks Scopus untuk naik jenjang jabatan akademik Profesor dan di jurnal terakreditasi SINTA 2 (minimal) untuk naik ke jenjang jabatan akademik Lektor Kepala. Atau, misalnya persyaratan untuk mengikuti ujian tertutup program doktoral yang mengharuskan mahasiswa S3 memiliki publikasi di jurnal terindeks Scopus. Niatnya tentu baik, yaitu untuk meningkatkan kualitas penelitian di Indonesia–baik dari sisi peneliti maupun penyelenggara jurnal. Namun memberi batasan di ujung proses seperti itu dan mengabaikan proses yang berjalan menuju ke sana adalah budaya instan yang menyesatkan. Kita tidak mungkin mengharapkan hasil yang baik tanpa proses yang baik pula. Hasil yang baik dapat dicapai dengan cara-cara yang tidak baik, karena caranya memang tidak diperhatikan alias dengan sengaja diabaikan. Itu sama saja dengan mengharapkan seorang anak bisa Matematika tanpa mengajari konsep penambahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian. 

Persyaratan Jurnal

 Orang Indonesia terkenal “kreatif” mencari cara untuk mengakali masalah. Jadi, tantangan publikasi di jurnal tertentu–bagi sebagian orang–tidak masalah karena ia menemukan celah untuk mengakalinya. Bayangkan saja, untuk menembus satu jurnal terindeks Scopus, seorang peneliti mungkin membutuhkan waktu sekitar setahun. Itu pun sudah tergolong cepat. Prosesnya adalah peneliti mengirim artikel kepada jurnal tersebut. Ini pun bukan perkara mudah, karena setiap jurnal memiliki format artikel sendiri-sendiri. Artinya, jika tidak diterima oleh jurnal A dan ingin dikirimkan ke jurnal B, maka peneliti harus merombak tulisannya sesuai dengan format jurnal B–yang berbeda dengan jurnal A. Ketidakcocokan dengan format jurnal yang dituju dengan cepat menjadi salah satu alasan tidak diterimanya artikel–betapapun menariknya. Selain itu, untuk mengirim diperlukan akun pada jurnal tersebut, sehingga seorang dosen bisa memiliki beberapa akun untuk jurnal-jurnal yang pernah disinggahi, hingga ia sendiri tidak ingat jurnal mana dengan akun apa. Setelah format sesuai, pihak jurnal akan menilai kelayakan artikel tersebut. Jika tidak cocok–misalnya bukan tema yang sesuai untuk jurnal tersebut–maka artikel akan dikembalikan. Jika masih bisa diterima dengan revisi, maka peneliti akan melalui proses revisi. Sampai di sini saja, hal ini berarti peneliti harus mengenal betul jurnal yang dituju hingga format dan ruang lingkup tulisannya sesuai dengan jurnal yang dimaksud. Dalam proses revisi, biasanya terjadi beberapa kali komunikasi bolak-balik antara peneliti dengan reviewer jurnal. Hal ini untuk memastikan bahwa peneliti telah memperbaiki artikelnya sesuai dengan permintaan reviewer. Setelah reviewer merasa puas dengan hasil koreksinya, barulah artikel tersebut dinyatakan diterima. Masalah berikutnya adalah antre terbit. Meskipun jurnal terindeks atau terakreditasi biasanya memang sudah memiliki terbitan secara berkala, tetapi pengirimnya tidak kalah banyaknya. Itulah dampak dari akreditasi atau indeks bagus dan aturan yang mengharuskan dosen mengirim ke jurnal tertentu. Bukan tidak mungkin pengelola jurnal yang menjadi tujuan ini kemudian menjadi “jual mahal”–atau dalam kasus tertentu “pasang harga”–karena tahu bahwa peminatnya membeludak. Dalam kasus jual mahal, dosen dan pengelola jurnal adu kuat mental; sementara dalam kasus pasang harga, keduanya adu kuat Rupiah. Apakah setelah terbit permasalahan selesai? Ternyata tidak. Jika jurnal tersebut tidak dapat mempertahankan indeks ataupun akreditasnya, maka artikel dosen yang sudah terbit di jurnal tersebut sangat mungkin ikut kena masalah. Misalnya, tidak diakui dalam mengurus kenaikan JJA. Atau, jika diskontinyu dari Scopus, bisa-bisa penulisnya tidak mendapatkan ID Scopus. Padahal, ID itu banyak menjadi persyaratan dalam berbagai hibah. Mematok seorang dosen harus memiliki publikasi di jurnal tertentu tanpa mempertimbangkan prosesnya adalah hal yang fatal. Dunia perjurnalan tidak seterang apa yang diduga selama ini. Ada berbagai masalah dan trik untuk dapat menembusnya. Pada kasus tertentu, ada pula mafianya. Bukan cuma beras, gula, dan rokok saja yang punya mafia. Jurnal pun ada. Karena sulitnya memahami dunia perjurnalan ini, maka agen jurnal pun bermunculan. Mereka memang mendalami soal jurnal, punya koneksi ke berbagai jurnal, bahkan banyak pula disertai dengan tim ahli untuk berbagai kepentingan, seperti mengubah artikel berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris (yang baik dan benar versi jurnal yang bersangkutan), bahkan melakukan revisi minor dan mayor yang dipersyaratkan oleh jurnal tersebut. Tentunya, ini sangat membantu dosen yang tidak memahami hutan belukar penerbitan jurnal. Untuk jasa tersebut, tentu perlu menyiapkan sejumlah dana. Maka, agen jurnal pun menjadi ladang bisnis. Sejauh artikelnya memang disiapkan oleh peneliti yang bersangkutan, tampaknya hal ini menjadi bisnis biasa. Toh, memang tidak semua orang dapat menyampaikan pemikirannya dalam bahasa Inggris yang benar–bahasa Indonesia pun sudah sulit. Lalu, untuk mengubah format dari jurnal A ke jurnal B–jika tidak diterima–itu pun membutuhkan upaya sendiri. Potensi masalah terjadi ketika agen melakukan upaya yang tidak bertanggung jawab untuk meloloskan artikel tersebut. Tapi layaknya bisnis, di mana ada demand, basanya akan ada supply–meskipun awalnya tidak ada. Setelah proses yang panjang itu, tidak heran jika orang bingung ketika ada dosen yang dapat menerbitkan artikel di jurnal terindeks atau terakreditasi tertentu dalam jumlah yang di luar logika. Untuk jurnal terindeks Scopus, misalnya, memiliki satu artikel per tahun saja sudah merupakan keberuntungan. Karena prosesnya memang berbelit dan memakan waktu. Kalau seorang dosen atau peneliti memiliki artikel di jurnal terindeks Scopus hingga lebih dari lima dalam kurun waktu yang sama, patutlah orang lain merasa curiga. 

Akreditasi dan hibah

Untuk meningkatkan gairah dalam penulisan artikel ilmiah, berbagai pihak menggelontorkan hibah untuk para peneliti. Di antaranya adalah Kemenristekdikti, BRIN, dan Bank Indonesia yang rutin memberikan hibah setiap tahunnya. Dan, hibah-hibah bergengsi ini juga menjadi batu pijakan untuk kepangkatan dosen–Guru Besar disyaratkan untuk pernah menerima salah satu hibah, dan akreditasi perguruan tinggi pun lebih tinggi nilainya jika pernah menerima hibah. Maka, berbondong-bondonglah perguruan tinggi mendorong dosennya untuk mengikuti hibah. Ada yang menyelenggarakan seminar dengan narasumber yang sudah pernah lolos hibah sehingga bisa berbagi tips dan trik agar proposalnya bisa lolos. Ada yang memberikan pendampingan dari pihak-pihak yang kompeten di bidang perhibahan, dan sebagainya. Singkatnya, perguruan tinggi mengejar hibah. Agar nilai proposal lebih menarik untuk lolos seleksi hibah–menurut bocoran–salah satu syaratnya adalah kolaborasi dengan pihak luar. Jadi, proposal yang menarik adalah jika penelitinya tidak hanya dari satu institusi saja, atau tidak dari satu bidang ilmu saja. Semakin banyak kolaborasi, semakin baik di mata para penilai proposal. Apakah itu syarat yang mudah? Tentu saja tidak. Menggabungkan pemikiran dua orang dari bidang yang sama saja sudah merupakan kesulitan tiada tara. Masing-masing dengan keilmuannya, kepakarannya, minatnya, dan sebagainya. Lalu, bagaimana pula menggabungkan pemikiran dari dua orang dengan bidang keahlian yang berbeda? Tentu tidak mudah. Perlu benar-benar dicarikan solusi yang sesuai bagi semua pihak yang terlibat. Apalagi, jika melibatkan institusi lain. Misalnya dua kampus yang berbeda–baik di dalam maupun di luar negeri. Nah, sudah terbayang kan dimana timbul potensi masalah? Daripada susah-susah menggabungkan dua-tiga kepala, lebih mudah jika artikel ditulis oleh mereka yang sepaham saja, sementara yang lain tinggal mencantumkan namanya saja. Kontribusinya bisa diatur, mungkin sebagai correspondence author atau penerjemah ke bahasa asing, atau apa saja yang nyaman bagi semuanya. Tapi, ya setidaknya semua pihak tahu bahwa namanya akan tercantum dalam artikel tersebut. Bagi dosen maupun kampus yang tidak memiliki koneksi ke kampus lain, untuk dapat menerobos kendala hibah ini, maka terjadilah–salah satunya–pencatutan nama yang bahkan orangnya tidak ada di instansi tersebut. Instansinya memang benar ada, tetapi orangnya mungkin fiktif, karena instansi lebih mudah dilacak daripada nama penelitinya. Lalu, salahnya di mana? Ya, ketika ada salah satu nama yang fiktif, apapun dapat terjadi, bukan? Untuk perguruan tinggi sendiri, bekerja sama dengan instansi lain untuk suatu kegiatan penelitian membutuhkan Memorandum of Understanding (MoU atau Nota Kesepahaman) di tingkat perguruan tinggi, dilanjutkan dengan Memorandum of Agreement (MoA, atau Perjanjian Kerja Sama) di tingkat fakultas, dan Implementation Arrangement (IA atau Rencana Implementasi Kerja Sama) di tingkat unit yang terlibat. Dengan perjanjian yang berlapis-lapis ini, tentu sudah terbayang keribetan yang akan terjadi. Maka, beragam tindak kecurangan sangat mungkin terjadi di sini. Belum lagi persyaratan lain hibah yang cukup sulit, di antaranya adalah memiliki manfaat bagi masyarakat. Jika persyaratan ini mudah, mengapa sampai sekarang pembatik masih mengotori tangannya dengan mencelup kain untuk melorotkan malam? Bukankah ada jurusan teknik mesin yang bisa membuat alat untuk menggantikan fungsi tersebut? Pada praktiknya, mencari tempat penelitian bukan hal yang mudah. Demikian pula pada saat mahasiswa mengerjakan skripsi, perusahaan sering enggan memberikan izin melakukan penelitian di sana. 

Kebiasaan meneliti

Maka, dalam rangka Hari Pendidikan Nasional, sudah selayaknya kita merenungi kembali: sudahkah kita membiasakan diri untuk meneliti? Sudahkah kita mengajarkan anak-anak kita berpikir kritis untuk menemukan research gap? Jangan-jangan kita masih menjejali mereka dengan ini-itu gaya orangtua yang tidak boleh dibantah. Jangan-jangan kita pun masih abai dengan fenomena di sekitar kita yang sebenarnya kita dapat bantu dengan berbagai kegiatan penelitian dan/atau pengabdian masyarakat. Jika penelitian baru dilakukan pada saat skripsi, atau berpikir kritis baru diajarkan di sekolah menengah, atau belajar statistik hanya sekadar angka–bukannya penerapan, jangan heran bahwa mahasiswa datang ke pembimbingnya dengan membawa judul penelitian. Padahal, yang seharusnya diajukan adalah fenomena yang layak diteliti, perbedaan antara “yang seharusnya” dengan “yang senyatanya”, gap antara teori dengan praktik, dan seterusnya. Bahkan, dosen pengajar mata kuliah metodologi penelitian pun mengajarkan untuk menyiapkan judul. Bukan fenomena yang pantas diteliti. Karena mencari fenomena tidak mudah, membutuhkan kepekaan terhadap kondisi sekitar, pemahaman mengenai teori yang terkait, juga kebutuhan untuk melakukan perbaikan. Dosen pun terjebak dalam kemudahan mencari penelitian yang sudah ada, kemudian mengubah satu-dua variabel agar terdapat “kebaruan” tanpa memperhatikan fenomena yang bisa diteliti. Maka, tak heran penelitian hanya berhenti di atas kertas, mandeg diaplikasikan di tingkat lapangan. Perusahaan, organisasi, dan masyarakat tidak merasakan manfaatnya. Jadi, ketika ada orang yang ingin melakukan penelitian di tempatnya, pemilik pun enggan memberikan izin, karena merasa tidak mendapatkan manfaat apapun–sementara perusahaannya sudah diobok-obok untuk penelitian tersebut. Jadi, perguruan tinggi yang punya sejumlah profesor dan doktor tetap perlu mawas diri, apakah mereka benar-benar memiliki keahlian tersebut? Publikasi yang berderet-deret tanpa disertai kompetensi yang mendukung, perlu diwaspadai. Perguruan tinggi perlu memberikan dukungan yang dibutuhkan bagi dosennya untuk mengembangkan penelitian: dana, bimbingan, penerjemahan, dan lain-lain. Tanyakan kepada dosen, apa yang mereka butuhkan, lalu sediakan. Dosen dan perguruan tinggi harus sama-sama berproses menjadi lebih baik, bukan hanya melihat ujung yang diharapkan. Jangan hanya melihat hasil akhir tanpa proses yang jelas, jika tidak mau memiliki profesor Scopus–guru besar yang memiliki banyak artikel terindeks Scopus yang diperoleh dengan cara tidak bertanggung jawab. Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan pihak-pihak tertentu. Namun, penting disadari bahwa urusan jurnal kini sudah menjadi lahan bisnis yang punya lika-liku tertentu. Dan, seperti juga bisnis lain, mungkin saja sudah terbentuk “mafia jurnal”. Pengambil kebijakan juga harus mempertimbangkan hal ini dalam membuat keputusan menyangkut dosen dan dunia pendidikan tinggi. Selamat hari pendidikan nasional. 


https://www.kompas.com/edu/read/2024/05/03/144310271/profesor-scopus?page=all


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Profesor "Scopus"", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/edu/read/2024/05/03/144310271/profesor-scopus?page=all.


Editor : Sandro Gatra


Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6

Download aplikasi: https://kmp.im/app6

Tidak ada komentar: