Halaman

Alasan Politis, realistis dan hidden agenda dalam kewajiban publikasi di jurnal terindeks Scopus

 

 

A. Alasan Utama yang Bersifat Politis dan Realistis

Kebijakan ini tidak datang dari vacuum; ia adalah respons terhadap kondisi global dan tuntutan internal sistem pendidikan tinggi Indonesia.

1. Alasan Politis (Political Reasons)

Alasan politis berhubungan dengan kebijakan, kekuasaan, agenda nasional, dan posisi Indonesia di panggung global.

  • Peningkatan Peringkat dan Reputasi Nasional (World Class University): Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, memiliki ambisi besar untuk menempatkan universitas-universitasnya dalam peta perguruan tinggi kelas dunia (WCU). Peringkat internasional seperti QS World University Rankings dan THE World University Rankings sangat bergantung pada metrik penelitian, khususnya jumlah publikasi dan sitasi di database seperti Scopus. Memaksa dosen untuk publikasi di Scopus adalah strategi langsung dan terukur untuk mendongkrak peringkat ini, yang pada akhirnya menjadi prestise politik bagi pemerintah.

  • Kebijakan "Link and Match" dan Akreditasi Internasional: Pemerintah mendorong agar program studi mendapatkan akreditasi internasional (seperti ASIIN, AACSB, ABET). Salah satu kriteria utama akreditasi ini adalah produktivitas dan kualitas penelitian dosen yang diukur melalui publikasi internasional terindeks. Kebijakan wajib Scopus adalah alat untuk memenuhi tuntutan eksternal ini.

  • Kompetisi dengan Negara Lain (Regional Prestige): Indonesia "berlomba" dengan negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam yang sudah lebih dahulu agresif mendorong publikasi internasional. Agar tidak tertinggal dan bisa bersaing dalam merebut talenta terbaik, mahasiswa asing, dan pendanaan internasional, kebijakan ini dianggap perlu.

  • Legitimasi dan Akuntabilitas Penggunaan Anggaran: Pemerintah mengalokasikan dana besar untuk pendidikan tinggi, termasuk melalui LPDP untuk beasiswa dan dana penelitian (seperti DRTPM). Publikasi Scopus menjadi alat ukur kinerja (KPI) yang mudah diaudit untuk membuktikan bahwa dana rakyat tersebut menghasilkan "output" yang nyata dan diakui dunia. Ini adalah bentuk akuntabilitas politik.

2. Alasan Realistis (Realistic Reasons)

Alasan realistis bersifat pragmatis dan berhubungan dengan peningkatan kapasitas dan kualitas secara nyata.

  • Standarisasi Kualitas Penelitian (Quality Control): Jurnal-jurnal yang terindeks Scopus telah melalui proses kurasi dan peer-review yang ketat. Ini memastikan bahwa penelitian yang diterbitkan memenuhi standar metodologi, orisinalitas, dan etika akademik yang diakui secara global. Kewajiban ini memaksa dosen untuk meninggalkan praktik publikasi di jurnal "predator" atau jurnal lokal yang kualitasnya tidak terkontrol.

  • Integrasi ke dalam Komunitas Ilmiah Global: Publikasi di Scopus membuat penelitian dosen Indonesia dapat dibaca, dikutip, dan didiskusikan oleh peneliti dari seluruh dunia. Ini menghindarkan penelitian dari isolasi dan memastikan bahwa kontribusi ilmu pengetahuan Indonesia menjadi bagian dari percakapan akademik global.

  • Peningkatan Kapasitas dan Kompetensi Dosen: Proses menulis untuk jurnal internasional bereputasi memaksa dosen untuk terus meng-update literatur terbaru, meningkatkan kemampuan metodologi, dan menulis dalam bahasa Inggris yang baik. Pada akhirnya, ini meningkatkan kompetensi profesional mereka sebagai peneliti.

  • Penilaian Kinerja yang Objektif (Meski Tidak Sempurna): Scopus menyediakan metrik yang relatif objektif (jumlah publikasi, h-index, sitasi) untuk menilai kinerja penelitian dosen. Ini menyederhanakan proses promosi jabatan fungsional (Asisten Ahli, Lektor, Guru Besar), pemberian reward, dan alokasi dana penelitian, dibandingkan hanya mengandalkan penilaian subjektif atau popularitas lokal.


B. Apa "Hidden Agenda" yang Direncanakan?

Istilah "hidden agenda" sering bernada negatif, mengimplikasikan adanya motif tersembunyi yang tidak diungkapkan secara terbuka. Dalam konteks ini, "hidden agenda" lebih tepat dilihat sebagai konsekuensi tidak langsung atau motif sekunder dari kebijakan tersebut, yang mungkin tidak menjadi fokus utama dalam narasi resmi pemerintah atau universitas.

  1. Komersialisasi Pendidikan Tinggi: Universitas dilihat sebagai "mesin produksi" penelitian. Output (paper Scopus) menjadi komoditas yang dapat ditukar dengan peringkat, pendanaan, dan mahasiswa (terutama mahasiswa pascasarjana yang diwajibkan publikasi). Kritikus melihat ini sebagai pergeseran nilai pendidikan dari mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi mengejar keuntungan finansial dan reputasi semata.

  2. Devaluasi terhadap Pengetahuan Lokal dan Applied Research: Kebijakan ini secara tidak langsung "meminggirkan" bentuk-bentuk pengetahuan lain yang tidak mudah masuk ke dalam format jurnal internasional. Penelitian terapan yang langsung menyentuh masalah masyarakat lokal, pengabdian masyarakat, penulisan buku arah, atau publikasi dalam bahasa Indonesia sering dinilai lebih rendah dan tidak dihargai setinggi publikasi Scopus. Ini menciptakan ketimpangan dalam sistem penghargaan akademik.

  3. Penciptaan "Pabrik Paper": Tekanan yang sangat besar dapat mendorong perilaku pragmatis, bahkan tidak etis. Dosen dan mahasiswa bisa terjebak dalam "permainan angka", mengejar jumlah publikasi dengan tema yang "laku" dan mudah diterima (biasanya sains dan teknik) daripada melakukan penelitian mendalam dan berdampak jangka panjang. Risiko plagiarisme, penelitian yang dipaksakan, bahkan jual-beli authorship ("paper mill") meningkat.

  4. Penguatan Hierarki dan Birokrasi Akademik: Kebijakan ini memperkuat kekuatan birokrat universitas (rektorat, LPPM) untuk mengontrol dan mengarahkan penelitian dosen. Sumber daya (dana, insentif, promosi) dialokasikan hanya kepada mereka yang mematuhi "agenda" ini. Pada level nasional, ini juga memperkuat kendali pemerintah pusat dalam menentukan arah penelitian nasional.

  5. Alih Fokus dari Pengajaran ke Penelitian: Dosen yang terbebani target publikasi mungkin akan mengalihkan waktu dan energinya dari kegiatan mengajar dan membimbing mahasiswa sarjana ke kegiatan menulis paper. Kualitas pembelajaran di level sarjana berpotensi untuk terabaikan.

Kesimpulan

Kewajiban publikasi Scopus di Indonesia adalah kebijakan multifaset. Di satu sisi, ia didorong oleh alasan politis (meningkatkan reputasi dan peringkat internasional) dan realistis (meningkatkan kualitas dan standar penelitian). Kebijakan ini telah berhasil mendongkrak jumlah publikasi Indonesia secara signifikan.

Namun, di baliknya terdapat "hidden agenda" atau lebih tepatnya dampak sampingan yang problematis, seperti komersialisasi pendidikan, pengabaian terhadap pengetahuan lokal, dan terciptanya budaya "publish or perish" yang tidak sehat. Tantangan terbesar bagi universitas dan pemerintah Indonesia ke depan adalah menemukan keseimbangan antara mengejar standar global dan tidak mengabaikan kontribusi nyata bagi masyarakat lokal serta menjaga integritas dan kesejahteraan mental para akademisinya.


Alasan Politis

  1. Citra Internasional Perguruan Tinggi
    Pemerintah ingin universitas Indonesia diakui dunia dengan masuk peringkat global (misalnya QS Ranking, THE Ranking). Salah satu indikatornya adalah jumlah publikasi internasional bereputasi (Scopus, WoS).

  2. Legitimasi Kebijakan Pemerintah
    Publikasi Scopus sering dipakai sebagai tolok ukur keberhasilan “internasionalisasi” pendidikan tinggi. Jadi, semakin banyak publikasi → semakin kuat klaim pemerintah bahwa mutu riset Indonesia sudah mendunia.

  3. Kepentingan Akreditasi & Politik Anggaran
    Banyak kebijakan anggaran riset dan hibah (misalnya research grant atau dana LPDP) bergantung pada jumlah publikasi Scopus. Jadi kewajiban ini sekaligus alat kontrol politik distribusi dana.


🔹 Alasan Realistis

  1. Standar Kualitas & Disiplin Akademik
    Scopus dipandang sebagai “filter” karena seleksi jurnalnya cukup ketat (meskipun tidak sempurna). Universitas ingin melatih dosen/mahasiswa menulis sesuai standar internasional.

  2. Jejak Publikasi yang Terukur
    Scopus punya sistem pengindeksan, sitasi, dan metrik yang jelas (H-index, CiteScore). Ini memudahkan universitas memantau capaian kinerja dosen/peneliti.

  3. Akses Jaringan Ilmiah Global
    Dengan publikasi Scopus, karya ilmiah lebih mudah ditemukan dan diakui oleh peneliti luar negeri, membuka peluang kolaborasi riset internasional.


🔹 Hidden Agenda (sering tidak diungkap terang-terangan)

  1. Komersialisasi Pendidikan Tinggi
    Industri publikasi internasional (Elsevier, Springer, Taylor & Francis, dll.) mendapat keuntungan besar dari biaya publikasi (APC/Article Processing Charge). Indonesia, lewat kebijakan wajib Scopus, secara tidak langsung “mengalirkan dana riset” ke penerbit besar luar negeri.

  2. Kontrol Pengetahuan Global
    Dengan menjadikan Scopus sebagai benchmark, sebenarnya pengetahuan lokal dan bahasa Indonesia jadi tersisih. Ada semacam agenda hegemoni epistemik: pengetahuan hanya dianggap sah bila terpublikasi dalam platform barat.

  3. Prestise & Kompetisi Internal
    Kewajiban ini juga jadi alat untuk menyeleksi dosen/peneliti: siapa yang “berkualitas” (punya publikasi Scopus) vs. yang tidak. Akibatnya, bisa dipakai dalam promosi jabatan, tunjangan, bahkan seleksi beasiswa.


👉 Jadi, bisa dibilang kebijakan wajib publikasi di Scopus adalah campuran antara dorongan politik untuk menaikkan citra universitas Indonesia di dunia, kebutuhan realistis agar karya ilmiah terukur, dan hidden agenda terkait dominasi pasar penerbit internasional serta kontrol epistemik global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar